HUJAN turun tanpa jeda malam itu bukan gerimis, bukan hujan biasa, tetapi hujan yang jatuh seperti dicurahkan dari langit yang sedang patah hati. Pepohonan membungkuk oleh angin, dan suara air di parit yang biasanya sayup kini terdengar seperti gemuruh yang tak biasa.
Di dalam sebuah rumah beton sederhana yang berdiri kokoh di tengah desa, Muhammad Sayuti, 19 tahun, mulai memejamkan mata setelah hari panjang bekerja.
Pemuda ini dikenal di kampungnya sebagai sosok ulet: beternak kambing, menggarap sawahnya sendiri, hingga punya mesin perontok padi—pencapaian yang jarang dimiliki seseorang seusianya. Ia hanya ingin istirahat sebentar. Malam terasa berat. Namun hidup punya cara lain untuk berbicara.
“Saat kepala belum menyentuh bantal, air itu masuk, deras sekali.” Waktu baru menunjukkan 23.30 WIB. Belum sempat merasakan dinginnya bantal, Sayuti tersentak oleh suara hantaman air dari arah jendela. Seperti ada sesuatu yang pecah di luar—kemudian masuk menerobos ke dalam.
“Air itu datang seperti tembok runtuh… cepat sekali. Kami tak sempat menyelamatkan apa pun.”
Banjir bandang tidak peduli rumah itu beton.
Dinding kokoh mungkin bertahan, tetapi isi rumah seluruh perjuangan bertahun-tahun tidak.
Air menghantam ruang tamu, kamar, dapur, dan menenggelamkan seluruh karung padi, 21 karung hasil dari kerja kerasnya selama musim panen. Tong padi yang menjadi kebanggaan keluarga pun terseret keluar, hilang dalam kegelapan.
“Padi habis… kambing hilang… sapi pun hanyut. Tak ada suara lain malam itu selain derasnya air.”
Dengan mata berkaca-kaca, Sayuti mengulang kisah itu kepada media ini; suaranya turun naik seperti orang yang masih menahan sesuatu yang terlalu besar untuk dikeluarkan.
Beton Tidak Hanyut Tapi Hati Mereka Hancur
Rumah Sayuti memang tidak rubuh. Beton itu berdiri seperti saksi bisu. Tetapi di dalamnya, kehidupan mereka hancur berserakan.
Perabot, pakaian, dokumen penting, perlengkapan kuliah, dan seluruh hasil ternak hilang. Kadang, kerusakan terbesar bukan ketika rumah hancur tetapi ketika rumah tetap berdiri dan memaksa pemiliknya menyaksikan segala yang berharga hilang dari dalamnya.
“Kami naik ke atap… hanya itu satu-satunya jalan.”
Saat air hampir dua meter, keluarga itu bergegas ke atap rumah beton. Di luar gelap total, kecuali kilat yang sesekali memecah langit. Hujan tak berhenti; tidak memberi kesempatan siapa pun untuk bernapas.
Di atap itu, Sayuti dan keluarganya bertahan dua hari dua malam tanpa makanan secuil pun.
“Kami hanya berpelukan di atap… takut kalau ada yang terlepas.”
Angin malam menusuk kulit. Suara air tak berhenti menggeram. Sayuti melihat dari atas bagaimana kambing-kambingnya—hewan yang ia rawat sejak kecil—terbawa arus satu per satu. Itulah momen yang membuat suaranya pecah ketika bercerita.
“Saya lihat sendiri… semua hanyut. Semua hilang.”
Betapa berat bagi seorang pemuda yang bekerja keras untuk menonton masa depannya pergi tanpa dapat menjangkau.
Saat Surut: Rumah Masih Berdiri, Tapi Hidup Telah Runtuh
Ketika air surut sedada, mereka turun perlahan. Rumah beton itu menyisakan luka yang tak terlihat dari luar: lumpur tebal, bau busuk, perabot terbalik, lemari terendam, dan dinding yang kini kotor oleh bekas banjir.
“Sudah kami bersihkan berkali-kali… tapi lumpurnya masih ada. Seperti tak mau hilang.”
Di halaman, kain-kain basah seperti bunga layu bertebaran. Di dapur, tidak ada satu pun alat masak yang bisa digunakan. Di kamar, pakaian lenyap. Di kandang, hanya ada pagar patah dan sisa tali hewan ternak yang tak lagi punya pemilik.
Di Meunasah, Ratusan Orang Menangis Bersama
Semua warga berkumpul di meunasah. Tidak ada yang datang tanpa luka. Anak-anak duduk dengan pakaian basah, wajah pucat dan ketakutan. Orang tua menatap kosong ke depan. Ibu-ibu memeluk anak mereka sepanjang malam.
Sayuti menatap keluarga-keluarga yang kehilangan rumah sementara ia sendiri kehilangan isi hidupnya. Kadang, kehilangan itu bukan soal rumah hancur tetapi ketika rumah tetap utuh, namun anda tidak punya apa-apa untuk dibawa masuk ke dalamnya.
“Pakaian pun tak punya, hanya baju yang saya pakai ini.”
Sayuti berkata dengan nada yang membuat reporter kami sulit menahan air mata.
“Semua hilang, pakaian, barang, padi, kambing. Hanya baju ini saja. Yang lain hilang bersama air.”
Ia menghapus air mata dengan tangan yang gemetar. Bukan karena dingin, tetapi karena kehilangan yang terlalu besar untuk usia semuda itu.
Kuliah Tinggal Sidang, Tapi Hidup Tidak Memberi Ruang
Sayuti adalah mahasiswa Komunikasi Penyiaran Islam UIN Lhokseumawe hanya tinggal menyelesaikan skripsi dan mengikuti sidang. Tidak ada mata kuliah lagi. Ijazah tinggal selangkah.
Tetapi banjir menenggelamkan semuanya, bahkan sesuatu yang tidak terlihat: mimpi.
“Kalau kampus tak bebaskan SPP… saya tak sanggup bayar. Padahal tinggal sidang saja.”
Ia menunduk lama. Bukan karena malu tetapi karena patah hati.
Seorang pemuda yang hampir menggenggam masa depannya kini harus kembali dari titik nol. Bahkan mungkin dari titik minus.
Harapan yang Basah dan Masa Depan yang Samar
Ketika reporter beranjak meninggalkan lokasi, Sayuti memandang reruntuhan tanah berlumpur di halaman rumahnya yang dahulu bersih. Ada satu kalimat yang ia ucapkan pelan, seakan berbicara kepada dirinya sendiri:
“Berat sekali tahun ini, semoga kami kuat.”
Di bawah langit Sumatera yang kelabu, kata-kata itu seperti doa yang dipaksa keluar dari rongga dada yang penuh sesak. Rumahnya masih berdiri, tetapi kadang, tragedi terbesar bukan ketika rumah roboh… melainkan ketika hidup yang roboh, dan kita harus tinggal di dalamnya. [Fohan]
