BENCANA yang kini melanda Sumatera bukan hanya menghadirkan kerusakan fisik, tetapi juga luka kolektif yang membekas dalam kesadaran masyarakat.
Hampir seluruh kabupaten dan kota berada dalam kondisi darurat: rumah-rumah hanyut, jalan-jalan terputus, jembatan-jembatan roboh, dan ribuan warga hidup dalam ketidakpastian di tenda-tenda pengungsian.
Dalam peta penderitaan ini, kita melihat bahwa persoalan terbesar bukan hanya soal bencana alam itu sendiri, tetapi sejauh mana nilai kemanusiaan menjadi pusat dalam setiap upaya penanganannya.
Dari sisi disaster governance, sebuah bencana menjadi cermin dari kesiapan negara dan ketangguhan sosial masyarakat. Di Sumatera, kita menyaksikan betapa beratnya beban pemerintah daerah ketika harus menghadapi kerusakan yang terjadi hampir serentak di berbagai wilayah.
Akses transportasi yang terputus total menyebabkan distribusi bantuan melambat; jaringan komunikasi yang lumpuh membuat koordinasi tersendat; sumber daya manusia yang terbatas tidak mampu menjangkau semua titik terdampak.
Situasi ini menegaskan bahwa skala bencana telah melampaui kapasitas penanganan daerah.
Dalam konteks kemanusiaan, negara dituntut hadir secara penuh. Ada sejumlah langkah fundamental yang seharusnya menjadi prioritas pemerintah, baik daerah maupun pusat, untuk mengembalikan martabat, keselamatan, dan keberlanjutan hidup masyarakat.
Langkah-langkah tersebut bukan hanya teknis, tetapi merupakan wujud dari tanggung jawab moral dan konstitusional negara terhadap warganya.
Pertama melakukan pencarian dan penyelamatan korban secara masif.
Evakuasi korban adalah prioritas tertinggi dalam fase darurat. Pemerintah perlu mengerahkan tim SAR, TNI, Polri, hingga relawan terlatih untuk memastikan tidak ada satu pun warga yang tertinggal, terjebak, atau terisolasi tanpa pertolongan.
Dalam situasi di mana informasi terputus, misi penyelamatan harus dilakukan dengan mobilisasi yang lebih agresif, termasuk melalui jalur udara dan air apabila jalur darat tidak dapat diakses.
Kedua memenuhi kebutuhan pokok masyarakat termasuk makanan, air bersih, pakaian, tempat tinggal sementara, serta obat-obatan.
Kelangsungan hidup para pengungsi hanya dapat dijaga jika kebutuhan dasar mereka terpenuhi tanpa jeda. Pasokan logistik harus dipastikan mengalir setiap hari. Obat-obatan, tenaga medis, dan fasilitas kesehatan darurat harus ditempatkan di titik-titik pengungsian. Anak-anak, lansia, ibu hamil, dan kelompok rentan lainnya membutuhkan perhatian khusus, karena mereka adalah yang paling cepat terdampak oleh krisis pangan dan kesehatan.
Ketiga memulihkan trauma psikologis terutama pada anak-anak.
Anak-anak adalah kelompok yang paling mudah terluka dan paling lama memulihkan diri setelah bencana. Mereka menyaksikan rumah mereka hanyut, kehilangan sekolah, bahkan mungkin kehilangan orang-orang yang mereka cintai.
Pemerintah perlu mengerahkan layanan psikososial, konselor, tenaga pendamping, serta menyediakan ruang aman bagi anak-anak untuk bermain, beristirahat, dan memulihkan rasa aman. Tanpa pemulihan psikologis, bencana akan meninggalkan luka yang tidak terlihat namun menetap seumur hidup.
Keempat membersihkan lumpur dan puing-puing di jalan utama agar akses transportasi kembali lancar.
Mobilitas adalah urat nadi dari penanganan bencana. Tanpa akses yang terbuka, bantuan tidak dapat masuk, layanan kesehatan tidak dapat menjangkau korban, dan aktivitas sosial-ekonomi tidak dapat kembali berjalan. Pembersihan lumpur, perbaikan jalur, dan pembukaan kembali rute strategis harus dilakukan secepat mungkin dengan dukungan alat berat dan tenaga teknis dari pemerintah pusat.
Kelima membangun kembali rumah warga yang hanyut dan hancur.
Pemulihan tidak berhenti pada distribusi bantuan. Ribuan warga kehilangan rumah, dan tanpa program rekonstruksi yang jelas, mereka akan terjebak dalam siklus ketidakpastian.
Pemerintah perlu menyiapkan skema pembangunan kembali yang aman, berkelanjutan, dan memperhatikan aspek mitigasi bencana. Rumah bukan hanya bangunan fisik, tetapi ruang pemulihan identitas sosial dan harapan.
Keenam memperbaiki seluruh jembatan yang putus dan jalan-jalan yang rusak.
Infrastruktur adalah fondasi kehidupan masyarakat. Kerusakan jembatan bukan hanya memutus akses fisik, tetapi juga memutus akses pendidikan, kesehatan, ekonomi, dan hubungan sosial.
Pembangunan kembali infrastruktur harus dilakukan dengan standar yang lebih kuat, mengedepankan prinsip ketahanan bencana, agar tragedi serupa tidak terulang dengan skala kerusakan yang sama.
Melalui langkah-langkah tersebut, pemerintah dapat menunjukkan bahwa kemanusiaan bukan sekadar wacana, melainkan komitmen nyata.
Bencana Sumatera mengingatkan kita bahwa negara tidak boleh hadir setengah hati. Tanggung jawab moral dan politik untuk melindungi rakyat harus dijalankan sepenuhnya, tanpa menunggu status administratif yang sering kali memperlambat respons.
Pada akhirnya, sejarah tidak akan mengingat seberapa dahsyat bencana yang terjadi, tetapi seberapa cepat dan tulus negara merespons penderitaan rakyatnya.
Dalam setiap air mata yang jatuh di tengah lumpur, dalam setiap jeritan minta tolong dari wilayah terisolasi, kita menemukan satu pesan yang sama kemanusiaan harus menjadi prioritas sekarang besok dan seterusnya. (*)
Penulis: Abdul Mugni, Warga Kota Lhokseumawe
