DALAM sunyi yang menyelimuti banyak wilayah yang sedang dirundung bencana, kita kembali diingatkan bahwa alam tidak pernah marah tanpa sebab. Sungai yang meluap, bukit yang longsor, rumah yang hanyut, dan ribuan jiwa yang kehilangan tempat bernaung semua itu bukan sekadar fenomena alam yang bekerja tanpa makna.
Ada pesan besar yang sedang mengetuk pintu hati umat manusia. Dalam kacamata sosiologi agama, bencana bukan hanya peristiwa fisik; ia adalah cermin yang memantulkan perilaku sosial kita.
Ketika hubungan manusia dengan Allah retak, dan hubungan manusia dengan sesamanya rusak, maka hubungan manusia dengan alam pun ikut terganggu. Alam adalah ayat-ayat besar Tuhan, dan ketika ayat itu terguncang, berarti ada amanah-amanah yang telah kita abaikan.
Salah satu penyakit sosial terbesar yang menghancurkan tatanan hidup kita adalah ketamakan dan kerakusan. Ketamakan yang membuat manusia menebang hutan tanpa ampun, merusak bukit untuk kepentingan sesaat, memperdagangkan sumber daya alam seolah tanah ini tidak memiliki batas.
Kerakusan yang membuat sungai-sungai penuh sampah, membuat jalan air dibangun menjadi bangunan pribadi, membuat lahan-lahan hijau diganti beton tanpa ruang bagi bumi untuk bernapas. Ketika alam dipaksa melayani hawa nafsu manusia, ia pun akhirnya memberontak.
Betapa banyak bencana hari ini lahir karena ulah tangan kita sendiri. Para ahli menyebutnya anthropogenic disasters bencana yang lahir dari keserakahan manusia. aqur’an telah lama mengingatkan:
"Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia, agar Allah merasakan kepada mereka sebagian dari akibat perbuatan mereka, supaya mereka kembali." (QS. Ar-Rum: 41)
Ayat ini bukan ancaman, tetapi panggilan agar manusia kembali pada fitrahnya. Namun betapa sering kita mengabaikannya. Kita terlalu sibuk membangun keuntungan, tetapi lupa membangun keseimbangan. Kita terlalu sibuk menumpuk harta, tetapi lupa menumpuk amal. Kita terlalu sibuk mengejar dunia, tetapi lupa bahwa dunia ini bukan milik kita sepenuhnya, itu adalah titipan.
Saat bencana datang, kita melihat anak-anak kehilangan sekolahnya, orang tua kehilangan rumahnya, dan para ibu menangis karena tidak tahu apa yang akan dimakan esok hari. Betapa memilukan pemandangan itu, dan betapa perih hatinya jika kita sadar bahwa sebagian besar dari semua penderitaan itu adalah akibat dari ketidakpedulian manusia sendiri. Ketamakan segelintir orang telah merampas kebahagiaan banyak orang.
Di tengah air mata masyarakat yang terdampak bencana, kita seperti mendengar bisikan yang lembut namun membuat dada sesak bukankah kita telah diberi bumi untuk dijaga bukan dirusak, bukankah kita diajarkan Amanah bukan keserakahan, bukankah kita diminta adil bukan menumpuk untuk diri sendiri. Renungan ini bukan sekadar untuk menyalahkan, tetapi untuk menggugah. Bencana adalah panggilan agar kita kembali menata hubungan sosial, memperbaiki sistem, dan menumbuhkan kesadaran kolektif.
Dalam perspektif sosiologi agama, masyarakat yang tamak akan melahirkan struktur sosial yang timpang, lingkungan yang hancur, dan spiritualitas yang rapuh. Dan semua itu akan kembali kepada kita dalam bentuk bencana, kesengsaraan, dan kehilangan.
Karena itu mari jadikan momen ini sebagai titik balik. Mari kita basuh kerak-kerak tamak dalam hati kita dengan keikhlasan. Mari kita bersihkan kerakusan yang menggerogoti struktur sosial kita dengan keadilan. Mari kita bangun kembali hubungan harmonis dengan alam sebagaimana diajarkan agama bahwa menjaga bumi adalah bagian dari ibadah, dan merusaknya adalah bagian dari kemaksiatan.
Jika rumah-rumah saudara kita hancur hari ini, jadikan itu pelajaran agar kita tidak menghancurkan rumah besar yang bernama bumi. Jika air bah menyeret kehidupan mereka, jadikan itu peringatan untuk tidak terseret oleh arus tamak yang merusak. Jika tanah longsor menelan desa-desa, jadikan itu seruan agar kita menahan diri dari meruntuhkan keseimbangan alam.
Beberapa contoh ketamakan dan kerakusan manusia antaranya Membeli Jabatan. Kita hidup di masa ketika sebagian orang menganggap jabatan bukan sebagai amanah, melainkan sebagai komoditas. Dibelinya posisi dengan uang, diperdagangkan kehormatan, dipertaruhkan masa depan rakyat demi kepentingan pribadi.
Bukankah ini bentuk kerakusan paling nyata ketika kekuasaan dianggap tiket menuju kekayaan, bukan jalan pengabdian. Berikutnya contoh ketamakan dan kerakusan TikToker yang menggadaikan rasa malu demi gift di era digital, sebagian manusia rela merobek tirai harga diri demi sorotan kamera. Mereka menari, berteriak, menistakan diri sendiri demi imbalan virtual yang tak seberapa.
Di mana letak marwah ketika seseorang bersedia menjual rasa malunya. Bukankah itu tanda bahwa ruang batin kita telah dipenuhi kerakusan akan pujian dan validasi. Selanjutnya ulama yang menjadi bagian dari umara tanpa keberanian menegur, penyakit lain yang lebih memilukan adalah ketika suara kebenaran dibungkam oleh kenyamanan dunia ketika sebagian ulama, yang seharusnya menjadi lentera, justru merapat ke kekuasaan tanpa lagi berani menegur ketidakadilan. di mana cahaya itu kini, apa arti ilmu jika tidak lagi menjadi penyelamat bagi yang tertindas. Berikutnya rakyat kecil yang ikut dalam arus ketamakan Kerakusan tidak hanya hinggap pada elit. Ia juga merayap ke lapisan bawah: memotong hak orang lain, menimbun bantuan yang bukan haknya, mengambil jalan pintas yang merugikan sesama.
Kita semua, tanpa sadar, pernah menjadi bagian dari lingkaran ketamakan itu. diantara segala bentuk ketamakan dan kerakusan ada satu yang paling menyayat hati
Ketika seseorang menjual barang kebutuhan pokok dengan harga yang melambung tidak wajar di saat masyarakat sedang dirundung bencana. Betapa pedihnya melihat keluarga yang kehilangan rumah, orang tua yang kehilangan anak, anak-anak yang kehilangan senyumnya lalu di saat mereka membutuhkan makanan, air bersih, susu bayi, selimut, lilin, dan obat-obatan, ada tangan tangan yang tega menaikkan harga berlipat-lipat. Inilah bentuk kezaliman sosial yang paling gelap memeras penderitaan manusia lain demi keuntungan.
Dalam perspektif sosiologi agama, tindakan semacam ini menandakan robohnya solidaritas social, lumpuhnya nurani, hilangnya rasa takut kepada Allah dan runtuhnya nilai kemanusiaan yang menjadi fondasi masyarakat beriman. Bagaimana mungkin seseorang menumpuk keuntungan di atas air mata korban bencana, bagaimana mungkin ada yang meraup laba dari ratapan ibu yang kehilangan asa, bagaimana mungkin ada yang menyiksa sesama dengan harga selangit pada saat mereka bahkan tidak punya apa-apa. Pada saat bencana, bukan gelar yang dinilai untuk apa gelar bukan jabatan yang dihitung namun nurani yang berbicara.
Bencana memisahkan manusia menjadi dua kelompok Mereka yang hatinya melembut dan mereka yang hatinya mengeras. Semoga kita berada di kelompok pertama mereka yang menjadikan musibah sebagai alasan untuk lebih peduli, lebih empati, lebih sabar, dan lebih manusiawi.
Penulis: Abdul Mugni, Dosen FUAD UIN Lhokseumawe
