Ketika Banjir Datang, “Tikus” Jangan Ikut Pesta



Setiap kali banjir besar melanda, yang pertama datang biasanya bukan hanya air, tetapi juga harapan. Truk-truk bantuan bergerak tanpa henti, relawan berjibaku siang dan malam, posko-posko darurat berdiri di tengah lumpur dan puing. Namun di balik getir para penyintas dan kerja sunyi para relawan, selalu ada ancaman lama yang mengintai: bantuan yang “dimakan tikus”.

Ini bukan tudingan sembrono. Sejarah penanganan bencana di negeri ini berulang kali mencatat luka yang sama—bantuan bocor, distribusi pincang, hak korban terampas. Di tengah kekacauan, ketika pengawasan melemah dan data simpang siur, celah kecurangan terbuka selebar-lebarnya. Pendataan yang asal-asalan membuat warga terlewat. Distribusi yang tak transparan memberi ruang gelap bagi permainan kotor. Nepotisme menyusup diam-diam: yang dekat didahulukan, yang lemah terpinggirkan.

Lebih menyedihkan, di tengah penderitaan itu, selalu saja muncul mereka yang melihat bencana sebagai peluang. Ada yang menimbun bantuan dengan alasan “stok posko”. Ada yang mengatur pembagian berdasarkan ikatan keluarga, kelompok, atau kepentingan politik. Ada pula pejabat yang datang membawa kamera lebih dulu daripada empati—mengubah nestapa menjadi panggung pencitraan. Seakan lupa bahwa bantuan itu bukan milik pribadi, melainkan amanah negara, lembaga kemanusiaan, dan donasi rakyat yang dikumpulkan dengan tulus.

Karena itu, kewaspadaan publik tak boleh sekadar imbauan—ia harus menjadi sistem. Pemerintah daerah, aparat penegak hukum, lembaga kemanusiaan, media, dan masyarakat sipil wajib berdiri di barisan yang sama. Pendataan korban harus terbuka dan terus diperbarui. Jalur distribusi harus bisa dilacak dari gudang hingga tangan penyintas. Posko bencana mesti melibatkan relawan independen, bukan hanya “orang dalam”. Setiap bantuan yang masuk, dibagikan, dan tersisa wajib diumumkan secara berkala. Transparansi bukan basa-basi; ia adalah kunci agar bantuan tidak berubah menjadi bancakan.

Bencana seharusnya menjadi panggung solidaritas, bukan ladang oportunisme. Bantuan adalah hak korban, bukan bonus jabatan. Bukan jatah kelompok, bukan properti politik, bukan alat pencitraan. Setiap butir beras yang diselewengkan, setiap dus mi yang disimpan untuk kepentingan sendiri, adalah pengkhianatan terhadap kemanusiaan dan tamparan bagi mereka yang sedang bertahan di tengah kehilangan.

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pengingat dan peringatan bagi semua pihak agar praktik curang, kolusi, nepotisme, serta penyimpangan dalam penyaluran bantuan bencana tidak terjadi. Editorial ini tidak menuduh pihak tertentu, melainkan mengajak seluruh elemen menjaga transparansi, integritas, dan akuntabilitas demi melindungi hak para korban.

Pada akhirnya, hanya satu yang harus terus diingat: jangan beri ruang bagi “tikus-tikus” untuk berpesta di tengah derita. Integritas adalah benteng terakhir agar setiap bantuan benar-benar sampai kepada mereka yang paling berhak.[*]

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama